Pengertian Hadits
Hadits secara etimologis berarti "komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual."(Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature; Indianapolis, India : American Trust Publication, 1413 H; hal.1)Penggunaannya dalam bentuk kata sifat atau adjektiva, mengandung arti al-jadid, yaitu: yang baharu, lawan dari al-qadim, yang artinya lama. Dengan demikian, pemakaian kata hadits disini seolah-olah dimaksudkan untuk membedakannya dengan Al-Qur'an yang bersifat qadim.
Di dalam Al-Qur’an terdapat 23 kali penggunaan kata hadits dalam bentuk mufrad atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak. Keseluruhannya adalah dalam pengertiannya secara etimologis di atas. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
1.Pengertiannya dalam konteks komunikasi religius, wahyu atau Al-Qur’an.
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an .... (QS. Al-Zumar [39]: 23).
Maka serahkanlah (hai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Al-Qur'an ini.... (QS Al- Qalam [68]: 44).
2.Dalam konteks cerita duniawi atau cerita secara umum.
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok- olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain ... (QS Al-An'am [6]: 68)
3. Dalam konteks sejarah atau kisah masa lalu.
Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (QS Thaha [20]: 9).
4. Dalam konteks cerita atau percakapan aktual.
Dan ingatlah ketika Nabi SAW membicarakan suatu rahasia kepada (Hafsah) salah segrang dari istri-istri beliau .... (QS Al-Tahrim [66]: 3).
Dari ayat-ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kata hadits telah dipergunakan di dalam Al-Qur'an dengan pengertian cerita, komunikasi, atau pesan, baik dalam konteks religius atau duniawi, dan untuk masa lalu atau masa kini.
Kata hadits dalam pengertian seperti yang disebutkan di atas juga dijumpai pada beberapa hadits nabi seperti:
1.Dalam pengertian komunikasi religius.
(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar sesuatu (Hadits) dari kami dan dihafalnya, serta selanjutnya disampaikannya (kepada orang lain). Boleh jadi orang yang menyampaikan lebih hafal dari yang mendengar. (HR Ibn Majah dan Tirmidzi)
Sesungguhnya hadits (pembicaraan) yang paling baik adalah Kitab Allah (Al-Qur'an) .... (HR Bukhari).
2. Pembicaraan atau cerita duniawi dan yang bersifat umum.
Siapa yang mencoba untuk mengintip (mendengar secara sembunyi) pembicaraan sekelompok orang dan mereka tidak menginginkan hal tersebut serta berusaha untuk menghindar darinya, maka besi panas akan disumbatkan ke telinganya di hari kiamat (HR Bukhari dan Tirmidzi).
3.Cerita masa lalu atau sejarah.
... Dan sampaikanlah cerita tentang Bani Israil .... (HR Tirmidzi).
4.Cerita aktual atau percakapan rahasia.
Apabila seseorang menyampaikan suatu pembicaraan (yang bersifat rahasia) kemudian dia pergi, maka perkataannya itu adalah amanah. (HR Tirmidzi).
Beberapa contoh di atas telah menjelaskan bahwa kata hadits mengandung pengertian cerita atau percakapan. Pada awal Islam, cerita dan pembicaraan Rasul SAW (Hadits) selalu mendominasi dan mengatasi pembicaraan yang lainnya, oleh karenanya kata hadits mulai dipergunakan secara khusus untuk menjelaskan perkataan atau sabda Rasul SAW. baik itu hadits shahih , hadits hasan , ataupun hadits dha’if.
Menurut Shubhi al-Shalih, kata hadits juga merupakan bentuk isim dari tahdits, yang mengandung arti: memberitahukan atau mengabarkan. Berdasarkan pengertian inilah, selanjutnya setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi SAW dinamai dengan Hadits. (Subhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-'Ilm li al-Malayin, 1973, h.3-4).
Adapun hadits secara terminologis, menurut Ibn Hajar, berarti: Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Definisi ini masih sangat umum, karena belum dijelaskan batasan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW tersebut. Definisi yang lebih terperinci, adalah: Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat.
Imam Taqiyyuddin ibn Taimiyyah mengemukakan definisi yang lebih sempit lagi dengan memberi batasan bahwa Hadits tersebut adalah: Seluruh yang diriwayatkan dari Rasul SAW sesudah kenabian beliau, yang terdiri atas perkataan, perbuatan, dan ikrar beliau. (M. J amal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdits : Kairo: al-Babi al-Halabi, 1961, h. 62).
Dengan definisi di atas Ibn Taimiyyah memberikan batasan, bahwa yang dinyatakan sebagai Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW sesudah beliau diangkat menjadi Rasul, yang terdiri atas perkataan, perbuatan, dan taqrir. Dengan demikian, maka sesuatu yang disandarkan kepada beliau sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, bukanlah Hadits.
Menurut Ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Hadits adalah apa yang disebut mereka dengan Sunnah qawliyyah, yaitu: Seluruh perkataan Rasul SAW yang pantas untuk dijadikan dalil dalam penetapan hukum syara’, seperti menentukan halal haramnya suatu makanan ataupun perbuatan, bukan hadits tentang keutamaan ibadah, seperti hadits tentang menuntut ilmu , hadits tentang keutamaan jamaah dalam shalat dan lain-lain.
Hal tersebut adalah, karena Sunnah, dalam pandangan mereka, adalah lebih umum daripada Hadits. Pengertian mereka tentang Sunnah adalah meliputi perkataan, perbuatan, dan taqrir (pengakuan atau persetujuan) Rasul SAW yang dapat dijadikan dalil dalam merumuskan hukum syara'.
Dari pandangan para ahli Ushul Fiqh tentang Sunnah di atas terlihat bahwa ada persamaan antara pengertian Sunnah menurut definisi mereka dengan Hadits dalam pengertian Ulama Hadits, kecuali Ulama Ushul Fiqh menekankannya dari segi fungsinya sebagai dalil hukum syara'.
Demikian uraian tentang Pengertian Hadits semoga bermanfaat. Amiin.
0 comments:
Post a Comment