Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan Hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para Sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadis, namun mereka belum menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Dasar dan landasan periwayatan Hadis di dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur'an dan Hadis Rasul SAW.
Di dalam surat Al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.
Di samping itu, Rasul SAW juga mendorong serta menganjurkan para Sahabat dan yang lainnya yang mendengar atau menerima hadis-hadis beliau untuk menyampaikan dan meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah Hadisnya Rasul SAW bersabda:
(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (Hadis), lantas dia. menyampaikannya (Hadis tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar. (HR Al-Tirmidzi).
Berdasarkan pada ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi di atas, maka para Sahabat mulai meneliti dan bersikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan Hadis Hadis Nabi SAW, terutama apabila mereka meragukan si pembawa atau penyampai riwayat tersebut. Dengan demikian, mulailah lahir pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan menolak suatu riwayat.
Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para Sahabat mulai meminta keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan Hadis atau Khabar kepada mereka. Mereka menerima atau mengambil Hadis dari orang-orang yang tetap berpegang kepada Sunnah Rasul SAW, dan sebaliknya mereka tidak mengambil Hadis dari mereka para ahli bid'ah.
Apabila dicermati sikap dan aktivitas para sahabat terhadap Hadis Nabi SAW dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para Sahabat, yaitu:
Pertama:
Penyedikitan periwayatan Hadis (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara kemurnian Hadis dari kekeliruan dan ketersalahan. Periwayatan yang banyak dan tanpa batas dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan akibat lupa atau lalai; dan hal ini dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam perbuatan dusta atas nama Nabi SAW, yang tindakan ini sangat dikecam oleh beliau, sebagaimana sabda beliau:
Siapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka ia telah menyediakan tempatnya di dalam neraka.
Selain itu, alasan lain dan bahkan yang lebih penting adalah, pemeliharaan agar jangan terjadi percampur-bauran antara Hadis dengan Al-Qur'an, karena Al- Qur'an pada masa itu, terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, belum dikodifikasi secara resmi. Pengkodifikasian Al-Qur'an secara resmi untuk dijadikan standar dan pedoman bagi umat Islam baru terjadi pada masa pemerintahan Utsman ibn 'Affan.
Kedua:
Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat. Sikap teliti dalam menerima riwayat ini pertama kali dipraktikkan oleh Abu Bakar al-Shiddiq. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab al-Zuhri dari Qabishah ibn Dzu'aib, bahwa suatu hari seorang nenek mendatangi Abu Bakar menuntut agar kepadanya diberikan harta warisan. Abu Bakar kemudian menjawab dan menjelaskan kepada nenek tersebut, bahwa dia tidak menemukan ayat Al-Qur'an yang menyatakan adanya hak nenek tersebut terhadap harta warisan, dan begitu juga tidak ditemu kannya Hadis Rasul SAW yang menjelaskan hal demikian. Oleh karenanya, Abu Bakar lantas menanyakan permasalahan tersebut kepada para Sahabat yang hadir. Mendengar permasalahan tersebut, berdirilah Al-Mughirah seraya mengatakan, bahwa dia pernah menyaksikan Rasul SAW memberikan hak mewarisi kepada seorang nenek, yaitu sebesar seperenam (al-sudus). Abu Bakar selanjutnya menanyakan apakah Al-Mughirah mempunyai seorang saksi yang menguatkan kesaksiannya bahwa Rasul SAW memberi bagian warisan kepada seorang nenek. Pada saat itu tampillah Muhammad ibn Maslamah yang menyatakan bahwa dia juga menyaksikan pemberian Rasul SAW akan bagian warisan kepada seorang nenek. Setelah adanya kesaksian tersebut, barulah Abu Bakar menerima pemberitaan tentang perbuatan Rasul SAW. itu, dan kemudian Abu Bakar sendiri melaksanakan pemberian bagian warisan kepada nenek tersebut sebesar seperenam.
Ketelitian dalam menerima riwayat juga dicontohkan oleh Umar ibn al-Khaththab. Umar adalah seorang Sahabat yang menuntut para perawi Hadis untuk bersikap teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan hadis. Abu Sa'id ibn Iyas al-Jurairi meriwayatkan, dari Abi Nadharah, dari Abi Sa'id, dia menceritakan bahwa Abu Musa suatu kali memberi salam di pintu rumah Umar. Setelah dia mengucapkannya sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban dari dalam rumah tersebut, Abu Musa lantas pergi meninggalkan rumah Umar itu. Sepeninggalnya, Umar yang sebenarnya mengetahui hal itu, segera mengutus seseorang untuk memanggil Abu Musa. Umar menanyakan perihal kembalinya Abu Musa setelah memberi salam itu, yang oleh Abu Musa dijawab, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang kamu memberi salam tiga kali, lantas tidak ada jawaban, maka hendaklah dia kembali pulang." Mendengar hal itu, Umar meminta Abu Musa untuk memberikan bukti akan kebenaran riwayatnya tersebut, dan kalau tidak, Umar akan menghukumnya. Dalam keadaan ketakutan akan ancaman hukuman dari Umar, Abu Musa kembali ke tempat berkumpulnya beberapa orang Sahabat, seraya menceritakan ancaman Umar tersebut dan menanyakan kalau-kalau ada di antara para Sahabat tersebut yang mendengarkan sabda Nabi SAW itu. Para Sahabat yang hadir ketika itu mengatakan bahwa mereka semua mendengar Rasullah SAW mengatakan hal yang demikian. Maka diutuslah oleh mereka salah seorang untuk mendampingi Abu Musa menghadap 'Umar, dan di hadapan 'Umar utusan tersebut memberi kesaksian bahwa apa yang dikatakan Abu Musa mengenai sabda Rasul SAW itu adalah benar, dan sejumlah Sahabat lain juga turut mendengarnya bersama Abu Musa.
Ketelitian dan kehati-hatian dalam menerima Hadis juga dilakukan oleh Khalifah Ali ibn Abi Talib, dan lainnya.
Ketiga:
Kritik terhadap matan Hadis (naqd al-marwiyyat). Kritik terhadap matan Hadis ini dilakukan oleh para Sahabat dengan cara membandingkannya dengan nash Al- Qur'an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur'an, maka Sahabat menolak dan meninggalkan riwayat tersebut. Salah satu contoh adalah, sikap Khalifah 'Umar r.a. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim. Umar mendengar Hadis yang berasal dari Fathimah binti Qais, yang menceritakan bahwa dia diceraikan oleh suaminya dengan talak tiga, maka Rasul SAW tidak memberinya hak untuk tempat tinggal dan juga hak nafkah. Mendengar hal itu, Umar mengatakan, "Kita tidak boleh meninggalkan Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah Nabi SAW hanya karena perkataan (riwayat yang berasal dari) wanita ini, karena kita tidak tahu bahwa mungkin saja wanita ini mengingat atau justru lupa tentang apa yang sebenarnya disabdakan Rasul SAW." Umar dalam hal ini tetap memberinya hak memperoleh tempat tinggal dan nafkah. Keputusan Umar ini di dasarkannya kepada firman Allah SWT dalam QS Al- Thalaq [65]: 1:
... Janganlah kamu usir mereka (wanita yang diceraikan) dari rumahnya, dan janganlah pula mereka keluar (dari rumah itu) kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang nyata...
Demikian uraian tentang Ketentuan Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadits mudah-mudahan bermanfaat. Amiin.
0 comments:
Post a Comment