Sumber Hukum Islam
Memperbincangkan tentang sumber sumber hukum Islam , terlebih dahulu kita mulai dari firman Allah SWT:
"Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulu al-Amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. al-Nisa', 59)
Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yakni al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Sebagaimana penjelasan 'Abdul Wahhab Khallaf dalam 'llm Ushul al-Fiqh:
"Perintah (yang terdapat dalam QS. al-Nisa’ ayat 59) untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qurdn dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulu al- Amri, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma') oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulu al-Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur'dn dan Hadits) dan ijma'." (Tim Ushul al-Fiqh, 21)
Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al Qur'an. Yang dimaksud dengan al-Qur'an adalah:
"Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat dengan satu surat saja, dan merupakan ibadah apabila membacanya". (Al-Kawkab al-Sathi' fi Nazhm Jam' al- Jawami', Juz I, hal 69)
Dengan demikian, al-Qur'an adalah firman Allah (kalamullah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menggunakan bahasa Arab, dengan membawa ajaran yang benar, supaya dapat dijadikan bukti (mu'jizat) oleh Nabi Muhammad SAW atas kerasulannya, dan agar bisa dijadikan pedoman bagi orang-orang yang meyakininya, serta dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT (ibadah) bagi yang membacanya. Ia adalah kitab yang telah terkodifikasikan (tersusun) dengan dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas dan sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir (disampaikan oleh orang banyak, sehingga tidak mungkin lagi diragukan kebenarannya) dari mulut ke mulut dan dari satu generasi ke generasi yang lainnya, dan selalu dijaga oleh Allah SWT dari segala bentuk perubahan. (Tim Ushul al-Fiqh 'Abdul Wahhab Khalldf, hal 23).
Kitab suci al-Qur'an yang biasa disebut dengan Mushhaf Ustmani (disebut mushhaf utsmani karena usaha penyusunan penghimpunan al-Qur’an baru dapat dirampungkan pada masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) itu terjaga dari berbagai upaya tangan-tangan kotor yang ingin mengubah untuk menyisipkan walau hanya satu huruf. Secara keseluruhan al-Qur'an terdiri dari 6.666 ayat (pendapat yang masyhur), 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Hal tersebut telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. DR. Muhammad Mushthafa al-A’zhami mengutip ketenrangan dari Prof. Hamidullah:
Universitas Munich (Jerman) telah mendirikan dalam abad yang lalu sebuah lembaga Penelitian al-Qur'an. Sesudah beberapa generasi, tatkala direkturnya yang sekarang, Prof. Pretzell datang ke Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pada saya bahwa mereka telah mengumpulkan empat puluh dua (42) ribu salinan al- Qur'an dari salinan yang berbeda, sebagian lengkap, sebagian lainnya berupa fragmen-fragmen, sebagian asli, kebanyakan foto-foto yang asli dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan setiap kata dari setiap salinan al-Qur'an itu untuk mengetahui apakah ada variasinya (perbedaannya). Tak lama sebelum Perang Dunia Kedua, sebuah laporan awal dan percobaan diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan dalam naskah al-Qur'an, tetapi ternyata tidak terdapat variasinya (tidak ada yang berbeda). Selama perang berlangsung, lembaga ini kena bom dan semuanya binasa, direktur, personalia, dan perpustakaan. (Mu'jizat al-Qur'an, 57)
Ini merupakan bukti bahwa al-Qur'an benar-benar otentik, sehingga semakin mantap iman kita bahwa al-Qur'an adalah kitab suci sebagai pedoman hidup manusia beriman.
Sumber Hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah. Yang dimaksud al-Sunnah adalah:
"Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi S AW, baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi Muhammad SAW. (Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, 51)
Karena itu sunnah terbagi menjadi tiga. Pertama, semua ucapan Nabi SAW yang menerangkan tentang suatu hukum, seperti perintah Nabi SAW untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru'yah). Hal ini disebut dengan Sunnah Qawliyyah. Kedua, Sunnah Filiyyah yakni segala sesuatu yang diperbuat Nabi Muhammad SAW, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan. Ketiga, Sunnah Taqririyyah yakni pengakuan Nabi SAW atas apa yang diperbuat oleh para sahabat. Contohnya adalah pengakuan Nabi Muhammad SAW pada seorang sahabat yang bertayammum karena tidak ada air. (Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal, 105)
Kitab-kitab yang mencatat al-Sunnah itu banyak sekali. Namun tidak semua dapat dijadikan pedoman dan standar untuk mengetahui Hadits Nabi SAW. Karena tidak jarang, ada sebagian kitab yang memuat Hadits-hadits yang kurang memenuhi standar transmisi (proses penyampaian) Hadits. Karena itu, ulama membuat tingkatan kitab Hadits sesuai dengan kualitas Hadits yang terdapat di dalamnya.
Para ulama membagi kitab-kitab Hadits pada tiga tingkatan besar.
Tingkatan pertama adalah kitab-kitab yang di dalamnya hanya memuat Hadits Mutawatir, Hadits Shahih yang ahad (tidak sampai tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta Hadits Hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab al-Muwaththa karangan Imam Malik.
Tingkatan kedua adalah kitab-kitab yang berisi Hadits-hadits yang tidak sampai kepada tingkatan pertama, yaitu kitab- kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah memasukkan sembarang Hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada kemungkinan Hadist yang mereka tulis masuk pada kategori Dha'if. Misalnya adalah Jami al-Tirmidzi, Sunan AbiDawud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtabd al-Nasai.
Tingkatan ketiga, adalah kitab-kitab yang banyak memuat Hadits Dha'if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya, apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk golongan ketiga ini adalah Mushannaf lbn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad'Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi, al-Thabarani, al-Thahawi dan Mushannaf ‘Abdurrazaq.
Dan yang terakhir, tingkatan keempat adalah kitab-kitab yang banyak mengandung Hadits Dhaif', seperti Kitab Hadits karya Ibn Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena keb any akan sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat dipercaya, karena selalu mengedepankan hawa nafsunya. ('Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, 116-117)
Banyak usaha dari orang-orang tertentu untuk melemahkan keimanan umat Islam pada sunnah Nabi SAW. Tetapi usaha tersebut tidak menampakkan hasil dan menuai kegagalan. Para ulama zaman dahulu sudah memberikan pagar-pagar beton yang kokoh dan tak mungkin bisa dijebol oleh siapapun juga. Al-Sunnah telah dilengkapi dengan berbagai perangkat ilmu seperti Musthalah al-Hadits,'Ulum al-Rijal, al-Jarh wa al-Ta'dil, 'Ulum Naqd al-Matn dan sebagainya. Ini merupakan salah satu kelebihan Hadits Nabi SAW yang tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu yang lain.
Ketika Goldziher ( seorang orientalis orang barat yang mempelajari budaya ketimuran, termasuk budaya Islam) yang selalu menyebarkan virus untuk menghancurkan iman umat Islam. Dalam bukunya itu, Goldziher mengajak umat Islam untuk meragukan validitas (kebenaran) dan keotentikan (keaslian) hadits Nabi SAW. la mengatakan bahwa hadits Nabi SAW tidak dapat diyakini kebenarannya karena generasi yang hidup pada abad ke dua Hijrah sangat tergantung pada tulisan, maka sangat sulit bagi mereka untuk dapat menghafalkan hadits. Selain itu, al-Sunnah telah cacat karena diriwayatkan oleh orang- orang yang berhati bejat, yang meriwayatkan hadits "sesuai pesanan" dan hanya mengikuti hawa nafsu semata. Lihat. DR. Shubhi al-Shalih, 'Ulum al-Hacfits Wa Mushthalahuh, hal, 4) dalam bukunya yang berbahasa Jerman Muhammedanische Studien mencoba mengacak teori Ilmu Hadits yang sudah baku, maka kemudian hadirlah DR. Muhammad Mushthafa al-Avzhami, dengan sebuah disertasinya untuk membela kebenaran Hadits secara ilmiyah, yang berjudul Dirasah fi al-Hadits al-Nabawi Wa Tarikh Tadiwinihi, yang dipertahankan di hadapan para pakar ilmu ke-Islaman orientalis di Universitas Cambridge pada tahun 1966, di antaranya Prof. A.J. Arberry. Dengan demikian runtuhlah upaya Goldziher dan para koleganya tersebut.
Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah Ijma',yakni:
"Yang dimaksud dengan Ijma' adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu." (Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, 44)
Sedangkan dalil Ijma' adalah firman Allah SWT QS al- Nisa' 115, sabagaimana disebutkan dalam kitab Tanqih al-Fushul Fi al-Ushul hal 82:
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam fahannam, dan Jahannam itu seburuk- buruk tempat kembali." (al-Nisa' 115)
Kesepakatan itu adakalanya terjadi pada saat semua mujtahid mengemukakan pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka itu semuanya sama. Inilah yang disebut dengan Ijma Sharih. Dan adakalanya kesepakatan itu terjadi karena ada sebagian mujtahid yang mengemukakan pendapatnya sedangkan yang lain diam (tidak memberikan komentar), sehingga mereka dianggap setuju dengan pendapat yang dikemukakan mujtahid tersebut. Ijma' seperti ini disebut dengan Ijma Sukuti. (Tim Ushul al-Fiqh, hal 23).
Contoh ijma' adalah kesepakatan para sahabat tentang adzan dua kali pada hari jum'at, shalat tarawih secara berjama'ah sebulan penuh dan semacamnya.
Sumber Hukum Islam yang ke-empat adalah Qiyas, yakni sebagaimana dikemukakan oleh Ibn al-Hajib:
"Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (fan) kepada ashl. Cabang adalah persoalan hukum yang tidak ada ketentuan langsung dari al-Qur'an dan al-Hadits, baik yang melarang atau membolehkannya. Sedangkan ashl adalah persoalan yang ada keterangan langsung dari syara'. Misalnya menyamakan keharaman ekstasi.sabu-sabu, putaw dan sejenisnya kepada keharaman khamar. Ekstasi dan sejenisnya itu disebut dengan cabang (fan) karena tidak ada nash yang menjelaskan secara langsung keharaman benda-benda tersebut. Sedangkan khamar merupakan ashl karena keharamannya dipetik langsung dari al-Qur'an dan al-Hadits) karena ada (kesamaan) illat (sebab) hukumnya." (Ushul al-Fiqh Khudhari Bik, 289)
Dalam kitab Tanqih al-Fushul fial-Ushul, hal 89, dijelaskan bahwa dalil qiyas adalah Allah SWT QS. al-Hasyr, 2:
"Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang- orang yang mempunyai pandangan." (QS. al-Hasyr, 2)
Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan jum'at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan perintah untuk meninggalkan jual-beli pada saat-saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan dalam al-Qur'an, yakni firman Allah SWT:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada harijum'at, maka bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah (mengerjakan shalat jum'at) dan tingggalkanlah jual-beli." (QS. al-Jumu'ah, 9)
Inilah empat dalil atau sumber sumber hukum yang dijadikan sumber hukum Islam. Karena itu seorang muslim tidak diperkenankan menghukumi sesuatu perkara tanpa berlandaskan salah satu dalil tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafi’i RA dalam al-Risalah:
"Seseorang tidak boleh mengatakan ini halal atau ini haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari al-Quran, al-Hadits, Ijma' atau Qiyas." (al-Risalah, 36)
Keempat dalil ini harus digunakan secara hirarkis (berurutan), artinya ketika memutuskan suatu persoalan hukum, maka yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur'an. Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an, maka meneliti Hadits Nabi SAW. Jika tidak ada, maka melihat Ijma'. Dan yang terakhir adalah dengan menggunakan Qiyas.
Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam:
"Yang asal dari dalil Syar'i adalah al-Qur’an sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan (urutan kedua) Sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Allah SWT dalam al-Qur'an. Dan (sesudah itu adalah) Ijma, karena Ijma selalu berpijak pada dalil al-Qur'an dan al-Sunnah. (Yang terakhir adalah) Qiyas, sebab proses Qiyas selalu berpedoman pada Nash (al-Qur'dn dan al-Sunnah) dan Ijma'. Sehingga Nash dan ijma' merupakan asal, sedangkan Qiyas dan Istidlal (penggunaan dalil) merupakan cabang (bagian) yang selalu ikut pada yang asal." (Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz I, hal 208)
Di samping itu, sebenarnya masih ada enam dalil lain yang dipergunakan oleh Imam Mujtahid. Yakni Mashlahah Mursalah (maslahah yang tidak bertentangan dengan dalil syar'i), Istihsan (menganggap baik suatu perkara), Madzhab Shahabi (pendapat para sahabat), al-'Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syari'at), Istishhab (menetapkan hukum yang sedang terjadi saat itu sesuai dengan hukum yang sudah pernah berlaku sebelumnya) serta Syar'u Man Qablana (syari'at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW).
Namun dalil-dalil tersebut masih diperselisihkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang menggunakan dalil yang tidak diakui oleh yang lainnya. Imam Abu Hanifah misalnya, mengakui istihsan sebagai dalil hukum, sementara Imam Syafi'i menolak menggunakannya seraya berkata, "Barang siapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat-buat syariat baru".
Beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa yang dapat dibuat dalil dalam syari'at Islam adalah al-Qur'an, al- Hadits, Ijma' dan Qiyas. Ditambah lagi dengan beberapa dalil lain yang masih diperselisihkan para ulama. Jadi, dalil itu tidak hanya terbatas pada al-Qur'an dan Hadits saja, seperti yang sering dipahami selama ini. Tentang definisi serta cara penggunaan masing-masing dalil ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab Ushul al-Fiqh, misalnya Ilmu Ushul al-Fiqh karangan 'Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, karya Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh karangan Khudhari Bik dan lain sebagainya.
Demikian uraian tentang sumber hukum Islam yang di ambil dari buku Fiqh Tradisionalis karangan KH. Muhyiddin Abdusshomad. Semoga bermanfaat. Amiin.
0 comments:
Post a Comment