Home » » Pengertian Ijtihad

Pengertian Ijtihad

Written By bloger Muslim on Sunday, April 26, 2015 | 10:02 AM

Pengertian Ijtihad

Proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah SAW masih hidup. Beliau pernah mengutus sahabat Mu'adz bin Jabal r.a. ke negeri Yaman untuk menyebarkan agama Islam. Ketika sahabat Mu'adz menghadap Rasulullah SAW, beliau menanyakan kepadanya tentang urutan dalam pengambilan keputusan: 
"Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal RA bahwa pada saat Rasulullah SAW mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, "Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu sebuah masalah?" Dia menjawab, "Saya memutuskan dengan Kitab Allah." Nabi SAW bertanya,"jika kamu tidak menemukan di dalam Kitabullah?" Muadz menjawab,"Maka dengan sunnah Rasulullah SAW." Nabi SAW bertanya, "jika kamu tidak menemukan di dalam sunnah? " Dia menjawab, "Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang". Lalu Muadz berkata,"Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya danhersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridhai Rasulullah SAW ." (Sunan al-Darimi, [168])

Ijtihad mendapat legalitas (pengakuan) dalam Islam, bahkan dianjurkan. Banyak ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang menyinggung urgensitas ijtihad. Apapun hasilnya, ijtihad merupakan kegiatan yang terpuji. Dalam sebuah Hadits dijelaskan:
"Diriwayatkan dari 'Amr bin al-'Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya)" (Musnad Ahmad bin Hanbal, [17148])

Dari Hadits ini, secara implisit dijelaskan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah. Tapi keduanya mendapatkan pahala dari Allah SWT. Oleh sebab itu, perbedaan hasil ijtihad dari masing-masing imam mujtahid (yang melakukan ijtihad) adalah sebagai rahmat. Bukan dijadikan ajang untuk berselisih dan menghancurkan persatuan umat Islam.

Prof. KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa redaksi Hadits tersebut menggunakan kata al-hakim (seorang ahli hukum), bukan kata al-rajul (seseorang secara umum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, berijtihad terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum. (Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, 162).

Maka sungguh ironis, orang yang hanya bisa memahami al-Qur'an dan al-Hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, sudah merasa mampu berijtihad. Padahal sebenarnya, tanpa disadari dia sedang ber- taqlid buta kepada penterjemahbuku tersebut, karena tidak bisa mengoreksi dan mengkritisi hasil terjemahan tersebut, apakah benar ataukah salah.

Ijtihad yang dimaksud adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Tuhan tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur'an dan al-Hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum (prinsip- prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur'an, al-Hadits, Ijma', Qiyas serta dalil yang lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Suyuthi:
"Ijtihad adalah usaha seorang faqih (seorang ahli fiqh) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (intrepretatif). (Al-Kawkab al-Sathi' fi Nazhm Jam' al-J awami', Juz II, hal 479).

Adalah Muhammad Abu Zahrah, seorang pakar Fiqh kontemporer asal Mesir, menyatakanbahwa ijtihad bukan sekedar mengerahkan kemampuan untuk menghasilkan sebuahproduk hukum. Namun lebih dari itu, ijtihad juga diartikan sebagai upaya untuk menerapkan hukum tersebut agar dapat diamalkan oleh masyarakat. Yakni terkait dengan kiat-kiat apa yang harus dilakukan agar produk hukum yang telah dihasilkan tersebut dapat diterima serta diamalkan oleh seluruh masyarakat. (Lihat  Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal 379).

Contoh Ijtidah pada masa sahabat:

1.Memerangi Orang-Orang Yang Menolak Membayar Zakat
Ketika Nabi wafat dan Abu Bakr diangkat sebagai khalifah, banyak persoalan muncul. Diantaranya yang dianggap besar adalah orang-orang yang menolak membayar zakat pada khalifah. Penolakan mereka itu punya implikasi politik yakni tidak mengakui  kesinambungan dan peralihan kepemimpinan Nabi kepada Abu> Bakr. Munculnya gagasan memerangi dan memperlakukan mereka sebagaimana orang-orang murtad ditolak ‘Umar. Ia menolak mengekskusi mereka karena tidak mungkin membunuh orang yang nyata-nyata bersahadat berdasarkan Hadis ‘umirtu annla ‘uqatil al-naas hattaa  yaquuluu Laa ila illa Allaah .

Dalam pandangan Abu Bakr membiarkan penolakan mereka berarti membiarkan rongrongan pada legalitas kepemimpinannya yang berarti kesatuan umat terancam. Karena Abu Bakr melihat zakat bukan sekedar ibadah yang cukup dilaksanakan dengan tanggungjawab secara vertikal saja, ia melihatnya sabagai urusan publik. Oleh karena harus ada otoritas yang menangani, karena zakat adalah salah satu sumber keuangan  publik sekaligus sebagai jalan pembelanjaan publik yang memiliki ciri yang khas.

Tugas pemerintahan Abu Bakr dalam kaitan zakat ini adalah menjaga keadilan distribusi kekayaan. Ini dapat dilihat dalam prakteknya bahwa yang diperangai Abu Bakr adalah orang-orang yang menolak membayar zakat harta dahir yaitu zakat  mawashi (perternakan), tidak harta yang tersembunyi seperti emas dan perak. Dengan demikian jelaslah bahwa pertimbangan perang ini lebih bersifat politis.

‘Umar yang pada awalnya menolak, akhirnya menerima argumentasi Abu Bakr. Karena ia  melihat sikap dan tindakan  Abu Bakr ini sangat dipengaruhi situasi umat dan stabilitas yang tidak kondusif setelah ditinggalkan oleh Nabi, bukan sekedar pertimbangan teologis semata. Jadi setiap bentuk penyimpangan akan sangat besar pengaruhnya terhadap keutuhan politik umat. Untuk itu, demi menjaga stabilitas, sikap Abu Bakr menjadi sangat tegas dan tidak kompromi.

2. Pengumpulan al-Qur’an Dalam Satu Mushaf
Gagasan ini merupakan masukan ‘Umar. Pada mula Abu Bakr menolak, namun akhirnya ‘Umar dapat meyakinkannya sehingga ia memutuskan untuk melakukan jam’u al-Qur’an fi mushaaf waahid, karena dirasakannya manfaat yang besar dan kerugian yang besar bila tidak dilakukan. Hal itu setelah disadari bahwa hafalan yang terkuat lebih rendah dari tinta terlemah untuk menjaga otentisitas dan keutuhan     kitab suci setelah banyak para huffadz yang terbunuh dalam peperangan. Disamping itu, pengumpulan  al-Qur’an dalam satu mushaf berfungsi sebagai penjagaan di dalam menghindari kemungkinan adanya penyelewengan, perbedaan dan lain-lain yang dapat mengurangi kesakralan al-Qur’an sebagai kitab suci.

Demikian sedikit uraian tentang pengertian ijtihad dan contoh ijtihad yang dapat kami utarakan, semoga bermanfaat. Amiin.

Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Support : Privacy Policy | Disclaimer
Copyright © 2013. kajian islam - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger