Penulisan Hadits Pada Masa Sahabat dan Tabiin
Meskipun ada riwayat yang berasal dari Rasul SAW yang membolehkan untuk menuliskan Hadits, dan terjadinya kegiatan penulisan Hadits pada masa Rasul SAW bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh Rasul SAW untuk melakukannya, namun para Sahabat, pada umumnya menahan diri dari melakukan penulisan Hadits di masa pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin. Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur'an al-Karim dan sekaligus Sunnah (Hadits). Akan tetapi, keadaan yang demikian tidak berlangsung lama, karena ketika 'illat larangan untuk menuliskan Hadits secara bertahap hilang maka semakin banyak pula para Sahabat yang membolehkan penulisan Hadits.
Abu Bakar al-Shiddiq, umpamanya, adalah seorang Sahabat yang berpendirian tidak menuliskan Hadits. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad-nya dari Al-Qasim ibn Muhammad, dari 'A'isyah r.a., dia ('A'isyah) mengatakan bahwa ayahnya mengumpulkan Hadits yang berasal dari Rasul SAW yang jumlahnya sekitar 500 Hadits. Pada suatu malam Abu Bakar membolak-balikkan badannya berkali-kali, dan tatkala Subuh datang dia meminta kepada 'A'isyah Hadits-Hadits yang ada padanya. Selanjutnya, ketika 'A'isyah datang membawa Hadits-Hadits tersebut, Abu Bakar menyalakan api, lalu membakar Hadits- Hadits itu.
Demikian pula halnya dengan Umar ibn al-Khaththab yang semula berpikir untuk mengumpulkan Hadits, namun tidak lama berselang, dia berbalik dari niatnya tersebut. Diriwayatkan oleh Urwah ibn al-Zubair, bahwasanya Umar ibn al-Khaththab r.a. bermaksud hendak menuliskan Sunnah, maka dia meminta fatwa para Sahabat yang lain ten¬tang hal itu, dan para Sahabat mengisyaratkan agar Umar menuliskannya. Umar kemudian melakukan istikharah ke¬pada Allah selama sebulan, dan akhirnya dia mengambil suatu keputusan yang disampaikannya di hadapan para Sahabat di suatu pagi, seraya berkata, "Sesungguhnya aku bermaksud hendak membukukan Sunnah, namun aku ter¬ingat suatu kaum sebelum kamu yang menuliskan bebe¬rapa kitab, maka mereka asyik dengan kitab-kitab tersebut dan meninggalkan Kitab Allah; dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan mencampurkan Kitab Allah dengan apa pun untuk selamanya." Pada riwayat lain melalui jalur Malik ibn Anas, Umar, ketika ia berbalik dari niatnya untuk menuliskan Sunnah, mengatakan, "Tidak ada suatu kitab pun yang dapat menyertai Kitab Allah.” (Al-Khathib, Ushul al-Hadits., h. 154; Id. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, h. 310)
Dari pernyataan Umar di atas, terlihat bahwa penolak¬annya terhadap penulisan Hadits adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam kepada mempe¬lajari sesuatu yang lain selain Al-Qur'an dan menelantarkan Kitab Allah (Al-Qur'an). Justru itu, dia melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Al-Qur'an, terma¬suk Hadits. Dan terhadap mereka yang telah telanjur menu¬liskannya, 'Umar memerintahkan mereka untuk mem¬bawanya kepadanya, dan kemudian ia sendiri membakar¬nya.( Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits., h. 154-155; Id. Al-Sunnah Qabla al-Tadnin, h. 310-311).
Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadits pada masa-masa awal itu di antaranya, adalah 'Abd Allah ibn Mas'ud, 'Ali ibn Abi Thalib, Abu Hu- rairah, Ibn Abbas, dan Abu Sa'id al-Khudri.( Lihat lebih lanjut Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits., h. 155-158; Id. Al-Sunnah Oabla al- Tadwin, h. 311-314)
Akan tetapi, tatkala sebab-sebab larangan penulisan Hadits tersebut, yaitu kekhawatiran akan terjadinya percampurbauran antara Al-Qur'an dengan Hadits atau dengan yang lainnya telah hilang, maka para Sahabat pun mulai mengendorkan larangan tersebut, dan bahkan di antara mereka ada yang justru melakukan atau menganjurkan untuk menuliskan Hadits. Hal tersebut adalah seperti yang dilakukan Umar, yaitu tatkala dia melihat bahwa pemeli¬haraan terhadap Al-Qur'an telah aman dan terjamin, dia pun mulai menuliskan sebagian Hadits Nabi SAW yang se¬lanjutnya dikirimkannya kepada sebagian pegawainya atau sahabatnya. Abu Utsman al-Nahdi mengatakan, "Ketika kami bersama Utbah ibn Farqad, Umar menulis kepadanya tentang beberapa permasalahan yang didengarnya dari Ra¬sul SAW, yang di antaranya adalah mengenai larangan Ra¬sulullah SAW memakai sutera."
Demikian pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang melakukan penulisan Hadits, namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-Qur an, salah satu penyebab utama pelarangan penulisan Hadits tersebut hilang, maka mereka mulai membolehkan, bahkan melaku¬kan sendiri, penulisan Hadits.( Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 155, 160-165; Id. Al-Sunnah Oabla al-Tadwin h 311 316-32).
Akan halnya Tabiin, sikap mereka dalam hal penulisan Hadits adalah mengikuti jejak para Sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabi'in memperoleh ilmu, termasuk di dalamnya Hadits-Hadits Nabi SAW, adalah dari para Sahabat. Dengan demikian adalah wajar kalau mereka bersikap menolak penulisan Hadits manakala sebab-sebab larangannya ada, sebagaimana yang dilakukan oleh Khulafa' al-Rasyidin dan para Sahabat lainnya; dan sebaliknya, mana¬kala sebab-sebab larangan tersebut telah hilang, maka mereka pun sepakat untuk membolehkan penulisan Hadits, bahkan sebagian besar dari mereka men-dorong dan menggalakkan penulisan dan pembukuannya. (Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 165-166.)
Sejalan dengan pendirian dan sikap para Sahabat, yaitu ada yang pro dan ada yang kontra terhadap penulisan Hadits, karena adanya Hadits-Hadits yang melarang penulisan Hadits di samping ada yang membolehkannya, maka sikap para Tabi'in juga demikian, yaitu ada di antara mereka yang pro dan ada pula yang kontra. Di antara mereka yang me-nentang penulisan Hadits adalah Ubaidah ibn Amr al- Sal-mani (w. 72 H), Ibrahim ibn Yazid al-Taimi (w. 92 H), Jabir ibn Zaid (w. 93 H), dan Ibrahim al-Nakha'i (w. 96 H).
Keengganan para Tabi'in dalam penulisan Hadits ini semakin meningkat tatkala mereka menyadari bahwa banyak di antara ahli Hadits di masa itu menyertakan pendapatnya ketika meriwayatkan Hadits, sehingga dikhawatirkan apabila riwayat tersebut dituliskan akan terikut pula dituliskan pendapat sang perawi, dan umat yang datang kemudian setelah mereka kemungkinan besar akan menduga bahwa pendapat sang perawi tersebut adalah Hadits juga. Keba¬nyakan ahli Hadits pada masa Tabi'in adalah juga ahli Fiqh (Fuqaha’), dan ahli Fiqh cen-derung menggabungkan antara Hadits dengan pendapatnya sehingga dikhawatirkan penda¬pat dan ijtihadnya tersebut disatukan dengan Hadits-Hadits Rasul SAW. Sebagai contoh, adalah sebagaimana yang diri¬wayatkan berikut ini:
“Telah datang seorang laki-laki kepada Sa'id ibn al- Musayyab, salah seorang Fuqaha dari kalangan Tabi'in yang meriwayatkan larangan menuliskan Hadits. Laki-laki tersebut menanyakan suatu Hadits kepada Ibn al-Musay- yab, yang dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengim- lakan Hadits tersebut kepada laki-laki tadi. Setelah itu, laki- laki tersebut menanyakan tentang pendapat Ibn al- Musayyab berkenaan dengan Hadits tadi, yang pertanyaan tersebut segera dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengemukakan pendapatnya. Laki-laki itu ternyata menuliskan pendapat Ibn al-Musayyab tersebut bersama-sama dengan Hadits yang baru saja didiktekan oleh Ibn al- Musayyab. Melihat kejadian itu, salah seorang yang ketika itu hadir bersama Ibn al-Musayyab berkata, "Apakah pendapatmu juga dituliskannya, wahai Abu Muhammad?" Mendengar hal itu, Sa'id ibn al-Musayyab berkata kepada laki-laki tadi, "Berikan kepadaku lembaran catatan itu." Laki-laki tersebut memberikannya, dan Ibn al-Musayyab segera mengoyaknya”.
Berdasarkan peristiwa di atas, terlihat bahwa yang sebenarnya tidak disukai oleh para Ulama dari kalangan Tabi'in adalah penulisan pendapat mereka bersama-sama dengan Hadits Nabi SAW, dan bukan penulisan Hadits itu sendiri. Karena apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan akan terjadi percampuran antara pendapat mereka dengan Hadits Nabi SAW. Hal ini serupa dengan pelarangan penulisan Hadits yang dilakukan oleh Rasul SAW dan para Sahabat sebelumnya, yang tujuan utamanya adalah agar tidak terjadi percampuran antara Hadits dengan Al-Qur'an.
Oleh karena itu, ketika kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara penulisan Hadits dengan pendapat pe¬rawinya telah dapat diatasi, maka sebagian besar Tabi'in memberikan kelonggaran bahkan mendorong murid-murid mereka untuk menuliskan Hadits-Hadits yang mereka ajar¬kan. Terdapat di kalangan Tabi'in itu sendiri mereka yang sangat antusias dalam menuliskan Hadits-Hadits yang me¬reka terima dari para Sahabat. Di antaranya adalah Sa'id ibn Zubair (w. 95 H) yang menuliskan Hadits-Hadits yang diterimanya dari Ibn 'Abbas. Demikian juga halnya dengan 'Abd al-Rahman ibn Harmalah yang diberi kelonggaran oleh Sa'id ibn al-Musayyab (w. 94 H) untuk menuliskan Hadits- Hadits yang berasal dari dirinya ketika 'Abd al-Rahman me¬ngeluhkan buruknya hafalannya kepada Ibn al-Musayyab. 'Amir al-Syafi'i, seorang Ulama Fiqh dari kalangan Tabi'in, bahkan memerintahkan para muridnya untuk menuliskan setiap Hadits yang disampaikannya kepada mereka, dengan mengatakan, "Apabila kamu mendengar sesuatu (Hadits) dariku, maka kamu tulislah Hadits tersebut walau di dinding sekalipun." Dorongan yang sama untuk menuliskan Hadits bagi para muridnya juga dilakukan oleh Al-Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H).
Kegiatan penulisan Hadits, di masa Tabi'in semakin meluas pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriah. Umar ibn 'Abd al-'Aziz (61-101 H), sebagai seorang Amir al-Mu'minin ketika itu, juga turut aktif secara langsung mencari dan menuliskan Hadits. Diriwayatkan dari Abi Qilabah al-Jarmi al-Bashri (w. 104 H), dia mengatakan, "Keluar bersama kami Umar ibn 'Abd al-'Aziz di suatu hari untuk melaksanakan shalat zuhur dan dia membawa kertas bersamanya. Selanjutnya dia juga keluar bersama kami untuk melaksanakan shalat asar, juga sambil membawa kertas, dan pada saat itu aku bertanya kepadanya, Wahai Amir al-Mu'minin, kitab apakah ini?' Dia menjawab, 'Ini adalah Hadits yang diriwayatkan oleh 'Aun ibn 'Abd Allah, dan Hadits tersebut menarik perhatianku sehingga aku menuliskannya”.
Demikian tentang penulisan hadits pada masa Sahabat dan Tabi’in semoga menambah wawasab bagi kita. Amiin.
0 comments:
Post a Comment