TRADISI NISFU SYA'BAN
Kebanyakan ulama hadits menilai bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang malam Nishfu Sya'ban termasuk kategori Hadits dlo'if (lemah), namun Ibn Hibban menilai sebagaian Hadits itu shahih, dan beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Addurrul Mandlud mengatakan, "Para ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama- ulama lainnya, sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap diperbolehkannya menggunakan Hadits dlo'if untuk keutamaan amal (fadlo'ilul amal), bukan untuk m enentukan hukum, dan selama hadits-hadits itu tidak terlalu dlo'if (sangat lemah)". Jadi, meski hadits-hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya'ban disebut dlo'if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan dasar untuk menghidupkan amalan di malam Nishfu Sya'ban.
Termasuk salah satu tradisi islam di nusantara adalah menghidupkan malam nisfu sya'an, karena biasanya setiap daerah memiliki tradisinya masing-masing, meski banyak yang melarang, namun juga tidak sedokit yang membolehkannya. Kebanyakan ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya'ban itu karena mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut adalah bid'ah, tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sedangkan pengertian bid'ah secara umum menurut syara' adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika demikian, secara umum bid'ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid'ah sayyi'ah madzmumah). Namun ungkapan bid'ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah wafat yang terkandung pada persoalan yang umum, yang secara syar'i dikategorikan baik dan terpuji (hasanah mamduhah).
Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin mengatakan, "Tidak semua hal yang baru datang setelah Nabi Muhammad SAW itu dilarang. Tetapi yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi yang bertentangan dengan sunnah." Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah (bid'ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah latar belakangnya.
Imam Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri, "Sesungguhnya bid'ah itu jika dianggap baik menurut syara' maka ia adalah bid'ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh syara' dikategorikan tercela maka ia adalah bid'ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa bid'ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.
Syeh Ibnu Taimiyah berkata, "Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu Sya'ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu, dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah".
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik benang merah bahwa sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya'ban dengan serangkaian ibadah itu hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun ragam ibadah pada malam itu dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo'a, membaca tasbih, membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau mendengarkan Hadits, dan lain-lain. Dan pada hakekatnyapun ibadah-ibadah itu tetap sunnah hukumnya dilakukan diluar malam nisfu sya’ban.
Dmikian sekilas tentang tradisi nisfu sya’ban mudah-mudahan kita senantiasa dalam lindungan Allah SWT, dituntun dalam melakukan perbuatan terpuji dan dihindarkan dari perbuatan tercela. Amiin.
0 comments:
Post a Comment