Kontroversi Ulama Tentang Penulisan Hadits
Dengan adanya hadits-hadits yang melarang menuliskan hadits dan hadits-hadits yang membolehkan bahkan mengajurkannya, menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam memahaminya.
Al-Azami mencoba memberikan solusinya sebagai berikut:
Hadits-Hadits yang melarang penulisan Hadits diriwayatkan oleh tiga orang Sahabat, yaitu Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ibn Tsabit. Hadits dari Abu Sa'id al-Khudri mempunyai dua versi. Satu versi diriwayatkan melalui jalur Abd al-Rahman ibn Zaid. Para Ulama Hadits sepakat menyatakan bahwa Abd al-Rahman ibn Zaid ini adalah seorang perawi yang lemah (dha'if), bahkan, menurut Al-Hakim dan Abu Nu'aim, dia (Ibn Zaid) meriwayatkan Hadits-Hadits palsu. Oleh karenanya, Hadits Abu Sa'id al-Khudri yang diriwayatkan melalui Abd al-Rahman ibn Zaid ini adalah lemah dan tidak dapat diterima (ditolak). (Lebih lanjut mengenai diri 'Abd al-Rahman ibn Zaid ini dapat dilihat pada Ibn Hajar al- Asqalani, Kitab Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Daral-Fikr, 1415 H/1995 M). 10 jilid: jilid 5, h. 90-91)
Abd al-Rahman ibn Zaid yang sama juga terdapat pada sanad Hadits yang berasal dari Abu Hurairah. Oleh karenanya, Hadits Abu Hurairah tentang larangan menuliskan Hadits tersebut juga adalah lemah dan tidak dapat diterima. Sedangkan Hadits yang berasal dari Zaid ibn Tsabit statusnya adalah Mursal, karena Al-Muththalib ibn Abd Allah yang meriwayatkan Hadits tersebut tidak bertemu dengan Zaid ibn Tsabit. Oleh karena itu, Hadits Zaid ibn Tsabit tersebut juga tidak bisa diterima. Mengenai Hadits Zaid ini terdapat dua versi: yang pertama menyatakan bahwa larangan penulisan Hadits tersebut adalah berdasar kepada pernyataan Nabi SAW sendiri; sedangkan yang kedua, larangan tersebut adalah karena yang dituliskan itu merupakan pemikiran pribadinya.
Dari keterangan di atas, maka hanya ada satu Hadits mengenai larangan menuliskan Hadits yang bisa diterima, yaitu Hadits yang berasal dari Abu Sa'id al-Khudri, versi yang bukan melalui jalur Abd al-Rahman ibn Zaid. Versi ini berbunyi:
Dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwasanya Rasul SAW bersabda, "Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur'an, maka hendaklah ia menghapusnya. (Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi., Shahih Muslim;Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), juz 2, h. 710; Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (Mesir: Al-Maktabah al-Mishriyyah, 1347 H), jilid 18, h. 129).
Hadits Abu Sa'id al-Khudri versi ini pun tidak terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan para Ulama. Menurut Imam Bukhari, Hadits ini sebenarnya adalah pernyataan Abu Sa'id sendiri, oleh karenanya adalah keliru apabila disandarkan kepada Nabi SAW. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat cenderung mengatakan bahwa pernyataan tersebut adalah pernyataan Rasul SAW (Hadits), dan maksud sebenarnya yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa tidak ada yang boleh ditulis bersama-sama dengan Al-Qur'an pada lembaran kertas yang sama, karena hal yang demikian bisa menyebabkan seseorang yang membacanya menganggap kalimat-kalimat yang dituliskan di margin atau di antara baris ayat-ayat Al-Qur'an tersebut adalah sebagai bagian dari ayat Al-Qur'an. Hal lain yang perlu diingat, adalah bahwa larangan tersebut disampaikan Rasul SAW pada masa Al-Qur'an masih sedang turun dan teks Al-Qur'an itu sendiri masih belum lengkap. Dan apabila kondisi yang demikian tidak ada lagi, maka tidak ada alasan yang tepat untuk melarang menuliskan Hadits- Hadits Nabi SAW.
Sementara itu, 'Ajjaj al-Khathib menyimpulkan, ada empat pendapat yang bervariasi dalam rangka mengkompromikan dua kelompok Hadits yang terlihat saling bertentangan dalam hal penulisan Hadits Nabi SAW tersebut, ('Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 150-152) yaitu:
Pertama, menurut Imam Bukhari, Hadits Abu Sa'id al- Khudri di atas adalah Mawqufy dan karenanya tidak dapat untuk dijadikan dalil.( Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari. jilid 1, h 218). Tetapi, pendapat ini ditolak, sebab menurut Imam Muslim Hadits tersebut adalah Shahih dan hal ini diperkuat oleh Hadits Abu Sa'id yang lain:
Dari Abu Sa'id r.a. dia mengatakan, "Saya meminta izin kepada Nabi SAWuntuk menuliskan Hadits, maka beliau enggan untuk memberiku izin." (Al-Baghdadi, Taqyidal-'Ilm, h. 32-33.)
Kedua, bahwa larangan menuliskan Hadits itu terjadi adalah pada masa awal Islam yang ketika itu dikhawatirkan terjadinya percampuradukan antara Hadits dengan Al-Qur'an. Tetapi, setelah umat Islam bertambah banyak dan mereka telah dapat membedakan antara Hadits dan Al-Quran, maka hilanglah kekhawatiran itu dan, karenanya, mereka diperkenankan untuk menuliskannya. (Muhammad ibn Isma'il al-Shan ani, Taudhih al-Azkar li Ma ani Tanqih al-Anzar (Kairo: Al-Khanji, 1366 H), jilid 2. h. 353-354. Ibid. h. 354) Sejalan dengan pendapat ini, bahwa larangan tersebut berkenaan dengan menulis Hadits dan Al-Qur'an dalam lembaran yang sama, karena mungkin mereka menuliskan ta'wil yang diberikan Nabi SAW menjadi satu dengan ayat sehingga dikhawatirkan terjadinya percampurbauran antara keduanya.
Ketiga, larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehan diberikan kepada mereka yang hafalannya kurang baik seperti Abu Syah.
Keempat, larangan tersebut sifatnya umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus kepada mereka yang pandai membaca dan menulis sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuliskannya, seperti Abd Allah ibn Amr yang sangat dipercaya oleh Nabi SAW. (Ibn Qutaybah Ta'wil Mukhtalif al-Hadits; Mesir: Mathba'ah Kurdistan al-'Ilmiyyah, 1326, h. 365-366)
Ajjaj al-Khathib memberikan kesimpulan tentang perbedaan pendapat di atas, sebagai berikut: pendapat pertama yang mengatakan bahwa Hadits Abu Sa'id al-Khudri sebagai Mauquf adalah ditolak, karena ternyata Hadits tersebut adalah Hadits Shahih , dan dengan demikian dapat dijadikan dalil.
Sedangkan ketiga pendapat berikutnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
Larangan Nabi SAW mengenai menuliskan Hadits dan Al-Qur'an dalam lembaran yang sama sehingga dikhawatirkan terjadinya percampuradukan antara keduanya, adalah logis dan dapat diterima. Demikian juga halnya dengan larangan tersebut pada masa awal Islam dengan maksud agar umat Islam tidak disibukkan dengan menulis Hadits sehingga mengabaikan Al-Qur'an. Kemudian Nabi SAW memperkenankan menuliskannya bagi mereka yang bisa membedakan antara Al-Qur'an dan Hadits, sehingga tidak terjadi percampur adukkan antara keduanya, dan bagi mereka yang kurang kuat hafalannya agar Hadits tersebut tidak hilang dari ingatan mereka. Dengan demikian, ketika umat Islam sudah bisa menghafal dan memelihara Al-Qur'an serta dapat membedakannya dari Hadits Nabi SAW, maka larangan menuliskan Hadits pun berakhir dan karenanya untuk masa selanjutnya diperbolehkan menuliskannya.('Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 152-153).
Terlepas dari adanya Hadits-Hadits yang bertentangan dalam masalah penulisan Hadits, ternyata di antara para Sahabat terdapat mereka yang memiliki kumpulan Hadits dalam bentuk tertulis secara pribadi, seperti Abd Allah ibn 'Amr ibn al-Ash yang menghimpun Hadits dan dinamainya dengan Al-Shahifah al-Shadiqah, yang memuat seribu Hadits. (Shubhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits. h. 27) Demikian juga dengan Sa'd ibn ‘Ubadah al-Anshari, Samrah ibn Jundub, Jabir ibn Abd Allah al-Anshari, Anas ibn Malik, dan Hamam ibn Munabbih, yang mereka semua juga memiliki kumpulan hadits - hadits. Himpunan Hadits milik Ibn Munabbih disebutnya dengan Al-Shahifah al-Shahihah, yang diriwayatkannya dari gurunya, Abu Hurairah.
Demikian sikap para ulama hadits menyikapi perbedaan pendapat mengenai penulisan hadits, mudah-mudahan bermanfaat. Amiin.
0 comments:
Post a Comment