Ketentuan Khusus Wanita Dalam Haji
Haji ke Baitullah setiap tahun adalah fardhu kifayah bagi umat Islam seluruhnya. Wajib bagi setiap muslim yang telah terpenuhi olehnya syarat-syarat wajibnya haji untuk melakukan haji sekali seumur hidupnya. Lebih dari sekali adalah sunnah hukumnya. Haji adalah salah satu rukun Islam. Ia adalah merupakan jihad bag wanita muslimah, berdasarkan sebuah hadits:
Dari Aisyah r.a., bahwasanya ia berkata: "Wahai Rasulullah, wajibkah wanita berjihad?" Beliau menjawab, “Ya, wajib bagi wanita suatu jihad yang tiada peperangan padanya, yaitu haji dan umrah”.
Menurut riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a., bahwasanya ia berkata, "Wahai Rasulullah, kami pandang jihad itu amal yang paling utama. Lalu, tidakkah semestinya kami berjihad?" Beliau menjawab: "Akan tetapi, jihad yang paling utama adalah haji yang mabrur”.
Haji mempunyai syarat-syarat umum bagi lelaki maupun wanita, yaitu: Islam, berakal, merdeka, baligh, kemampuan di sisi bekal harta. Adapun syarat khusus bagi wanita adalah:
Pertama:
Adanya mahram yang pergi mengiringinya untuk melakukan haji. Yaitu, suaminya atau mahram lainnya yang haram mengawininya selama-lamanya karena nasab, seperti: bapak, anak dan saudara lelakinya, atau karena sebab yang mubah, seperti saudara lelaki sesusuan, atau suami ibunya, atau anak lelaki suaminya.
Dari Ibn Abbas bahwasanya ia mendengar Rasulullah berkhotbah, beliau bersabda: "Janganlah sekalikali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai mereka". Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali ada mahram yang menyertainya. Lalu. bangkitlah seorang lelaki seraya berkata, "Wahai Rasulullah, istreriku keluar menunaikan haji, sedang aku telah terdaftar dalam regu jihad pada ghazwah (peperangan) ini dan itu". Beliau bersabda: "Berangkatlah dan lakukan haji bersama isterimu ".
Dari Ibn "Umar r.a. ia berkata, Rasulullah bersabda: "Janganlah hendaknya wanita bepergian (beliau ucapkan itu tiga kali) kecuali ia diiringi oleh mahramnya”.
Banyak hadits tentang masalah ini, yang melarang kepergian wanita untuk berhaji atau lainnya tanpa mahram. Karena, wanita adalah lemah, terbentur oleh berbagai macam hal dan kesulitan dalam bepergian, yang tidak dapat ditanggulangi kecuali oleh lelaki. Lebih dari itu, wanita adalah sasaran keinginan busuk lelaki fasik. Karenanya, harus ada mahram yang menjaga dan melindunginya dari gangguan mereka.
Mahram yang dipinta untuk mendampinginya dalam menjalankan hajinya disyaratkan ia berakal, baligh dan beragama Islam. Karena, orang kafir tidak dapat dijamin kejujurannya terhadap wanita itu. Jika sudah tidak mungkin lagi mendapatkan mahram, ia harus mencari orang yang menghajikannya.
Kedua:
Jika haji itu haji sunnah, disyaratkan mendapatkan izin dari suaminya. Karena, dengan kepergiannya untuk itu, hak suami tak dapat tertunaikan olehnya. Ibn Qudamah, di dalam al-Mughni, mengatakan:
"Jika haji itu haji sunnah, maka suami boleh mencegah melakukannya. Ibn al-Mundzir berkata: “Setiap ulama' kenamaan yang kutahu telah bersepakat (ijma’), bahwasanya suami boleh mencegah isterinya keluar untuk menjalankan haji sunnah. Karena, hak suami wajib ditunaikan oleh isteri, dan isteri tidak boleh melewatkannya dengan melakukan hal yang tidak wajib. Seperti halnya seorang tuan terhadap hamba sahayanya.
Ketiga:
Wanita menghajikan dan mengumrahkan lelaki adalah sah hukumnya. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu' al-Fatawa, mengatakan: "Pendapat yang disepakati para ulama', bahwa wanita boleh menghajikan wanita lain, baik itu anak perempuannya sendiri atau bukan anak perempuannya. Demikian juga, menurut para imam empat dan kebanyakan ulama', boleh bagi wanita menghajikan lelaki, sebagaimana tertera dalam hadits, bahwasanya Nabi Saw. menyuruh seorang wanita manakala ia bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulul Saw.lah, Kewajiban haji yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya telah sampai kepada ayahku, sedangkan ia sudah tua renta". Maka Nabi Saw. menyuruh wanita itu agar menghajikan ayahnya. Padahal, ihram lelaki lebih sempurna daripada ihram wanita.
Keempat:
Dalam perjalanan menuju haji, jika wanita itu tiba- tiba haid atau nifas, maka hendaknya melanjutkan perjalanannya. Jika datangnya haid saat akan berihram, ia tetap berihram sebagaimana lelaki. Karena, ihram adalah nusuk (amalan di dalam haji maupun 'umrah), meskipun bagi wanita haid , maupun nifas. Hal ini berdasarkan hadits Jabir:
Sesampainya kami di Dzul Hulaifah, Asma' binti Umais melahirkan Muhammad bin Abu Bakar. Maka Umais menyuruh seseoranq (bertanya) kepada Rasulullah Saw. "Apa yang harus kuPerbuat?" Beliau menjawab, "Mandilah dan ikatkanlah kain di bagian vagina antara kedua paha (untuk menahan darah) dan berihramlah ".
Dari Ibn 'Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Wanita nifas dan wanita haid, jika sampai di miqat, hendaknya ia mandi dan berihram, selanjutnya melakukan semua amalan haji selain thawaf seputar Ka'bah. "
Hikmah disyari'atkannya mandi ihram bagi wanita laid maupun nifas ialah: membersihkan tubuh, menghilangkan bau yang tidak sedap agar orang lain tidak terganggu, dan meringankan najis. Jika wanita tiba-tiba laid atau nifas, padahal sedang berihram, hal itu tidak nempengaruhi ihramnya. Tetaplah ia berihram dan nenghindari larangan-larangan ihram. Ia tidak boleh hawaf seputar Ka'bah sebelum ia suci dari haid atau lifas dan mandi besar.
Jika sudah masuk hari 'Arafah dan belum suci (dari iaid atau nifas), padahal telah berihram dengan niat tamattu', maka langsung (di hari 'Arafah itu) berniat berihram haji dan (pada saat akan thawaf ifadhah dan sa'i) berniat menggandengkan niat (thawaf dan sa'inya itu) untuk haji dan 'umrah sekaligus. Dengan demikian ia berhaji qiran.
Hal ini didasarkan pada kisah 'Aisyah , bahwasanya ia tiba-tiba haid, padahal telah berniat berihram 'umrah (berihram tamattu). Maka Nabi Saw. menghampirinya dan ia sedang menangis, "Apa gerangan yang membuatmu menangis, barangkali kamu haid?","tanya beliau. "Ya", jawabnya. Beliau bersabda: "Ini adalah sesuatu yang telah digariskan oleh Allah untuk puteri-puteri Adam. Lakukan semua amalan yang dilakukan orang yang sedang melakukan amalan haji, hanya saja jangan thawaf seputar Ka’bah sebelum suci dan mandi" (Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Kelima:
Hal-hal yang dilakukan wanita ketika hendak berihram
Wanita melakukan seperti apa yang dilakukan lelaki. Yaitu: mandi dan membersihkan tubuh dengan mencukur rambut ketiak dan rambut bawah, memotong kuku dan menghilangkan bau tidak enak, agar tidak perlu lagi melakukan itu saat ihram, sedang hal-hal itu dilarang. Jika dipandang tidak perlu melakukan itu, tidaklah harus melakukannya. Dan, itu bukan kekhususan amalan ihram. Tidak mengapa mengenakan bahan penyegar bau untuk di tubuhnya, asalkan tidak berbau wangi. Ini berdasarkan hadis:
Dari 'Aisyah r.a. Kami keluar bersama Rasulullah Saw., lalu kami mengoleskan minyak misk di dahi kami saat hendak berihram. Jika salah seorang dari kami berkeringat, maka mengalirlah minyak itu di wajahnya. Nabi melihat itu dan beliau tidak melarang kami.
As-Syaukani, dalam Nailul Authar, mengatakan: "Sikap diam beliau menunjukkan dibolehkannya hal itu. Karena, beliau tidak mungkin mendiamkan hal yang batil".
Keenam:
Saat berniat ihram, wanita harus melepas cadar, baik yang jenis burqu' (cadar kuat dan tebal yang berlobang dua untuk melihat) maupun jenis niqab (cadar yang lebih tipis dari burqu'), jika mengenakannya sebelum ihram. Ini berdasarkan sabda Rasulullah "Janganlah hendaknya wanita yang berihram mengenakan cadar”. Juga hendaknya ia melepas sarung tangan, jika ia lengenakannya sebelum ihram.
Ia boleh menutup wajahnya tanpa mengenakan cadar, baik jenis burqu' maupun niqab. Ia boleh menutup wajahnya dengan mengulurkan kerudung atau kain ke wajahnya saat dilihat lelaki yang bukan mahramnya, demikian juga ia boleh menutup kedua telapak tangannya dari pandangan mereka dengan mengenakan selain sarung tangan berjahit, yaitu cukup dengan menyarungkan atau menutupkan selendangnya ke kedua telapaknya. Hal itu karena wajah dan kedua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutupi dari pandangan lelaki saat ihram atau di luar ihram.
Ketujuh:
Saat Ihram, wanita boleh mengenakan busana wanita apapun yang disukainya, yang tidak mengandung hiasan atau perhiasan, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak ketat yang dapat membentuk tubuh, dan tidak tipis menerawang, tetapi hendaknya busana itu besar, tebal dan luas.
Ibn al-Mundzir berkata: "Para ulama bersepakat (ijma'), bahwa wanita yang berihram boleh mengenakan qamis, jubah, celana lebar, kerudung dan khuff (semacam sepatu boot)".Tidak ada ketentuan bagi wanita untuk mengenakan busana berwarna tertentu, hijau misalnya. Ia boleh mengenakan busana bertipe warna khas wanita apa pun yang disukainya, merah atau hijau atau hitam. Dan boleh juga, kalau suka, menggantinya dengan warna lain.
Kedelapan:
Setelah berihram, disunnahkan bagi wanita mengucap talbiyah sebatas didengar oleh telinganya sendiri. Ibn 'Abdil Barr mengatakan: "Para ulama bersepakat (ijma'), bahwasanya yang sesuai dengan as-Sunnah untuk wanita ialah, hendaknya ia tidak mengeraskan suaranya, tetapi hendaknya cukup memperdengarkan suaranya untuk dirinya. Dimakruhkannya baginya mengeraskan suara adalah lantaran khawatir timbulnya fitnah (gangguan batin) karenanya.
Kesembilan:
Tidak disunnahkan bagi wanita mencium maupun menyentuh Hajar Aswad, kecuali di saat sepinya tempat thawaf, di malam hari atau lainnya, karena mengundang bahaya baginya atau bagi orang lain. Disunnahkan bagi wanita thawaf di malam hari, untuk lebih menutup dirinya dan tidak terlalu berdesak-desakan. Dengan demikian, ia dapat mendekat ke Ka'bah dan menyentuh Hajar Aswad dengan tangannya.
Sepuluh:
Thawaf dan sai wanita adalah seluruhnya dengan berjalan biasa. Ibn al-Mundzir berkata: Para ulama' bersepakat (ijma'), bahwasanya, untuk wanita, tidak ada rami (lari kecil dengan mengangkat kaki tinggi-tinggi dengan langkah rapat) saat thawaf seputar Ka'bah dan sa'i antara Shafa dan Marwah, dan tidak disunnahkan melakukan idhthiba' (meletakkan separuh bagian rida' <kain ihram atas> di bawah ketiak kanan, sedang ujungnya diletakkan di atas ujung yang lain menumpang di atas pundak kiri). Karena, tujuan utama disyari'atkannya rami dan idhthiba' adalah untuk menampakkan keperkasaan tubuh. Sementara rami dan idhthiba' ini dapat membawa tersingkapnya tubuh bagi wanita.
Ke ebelas:
Wanita haid boleh melakukan semua amalan haji, yaitu: ihram, wuquf di 'Arafah, mabit (mengi¬nap) di Muzdalifah dan melempar jumrah. Namun, ia tidak boleh melakukan thawaf sebelum ia suci (dan bersuci). Ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada 'Aisyah tatkala ia haid:
"Lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang menjalankan haji, hanya saja jangan kamu thawaf di seputar Ka'bah sebelum kamu suci". Hadits Muttafaq 'alaih (disepakati keshahihannya oleh para ahli hadits, utamanya al-Bukhari dan Muslim).
As-Syaukani, dalam Nailul Authar, berkata: "Hadits ini jelas melarang wanita haid melakukan tha¬waf sebelum tuntas darahnya dan mandi. Sedangkan larangan itu menjadikan rusak atau batalnya (ketidaksahan) sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, thawaf wanita haid adalah batal (tidak sah). Ini adalah pendapat jumhur (keba¬jakan ulama')". Ia juga tidak boleh melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah, karena sa'i tidak sah kecuali setelah thawaf nusuk (thawaf dalam rangkaian amalan haji. bukan sekedar thawaf sunnah biasa). Hal itu, karena Nabi Saw. tidak pernah melakukan sa'i kecuali setelah thawaf.
Kedua belas:
Boleh bagi wanita meninggalkan Muzdalifah bersama orang-orang yang berfisik lemah setelah hilangnya rembusan dari pandangan, lalu melempar jumrah sesampainya di Mina, dengan alasan khawatir desak-desakan. Muwaffiquddin Ibn Qudamah, dalam al-Mughni, berkata: 'Tidak mengapa mendahulukan orang-orang yang berfisik lemah dan wanita. Di antara yang pernah mendahulukan keluarganya yang berfisik lemah adalah 'Abdur Rahman bin 'Auf dan 'Aisyah.
Imam as-Syaukani, dalam Nailul Authar, berkata: Dalil-dalil dari as-Sunnah menunjukkan, bahwa waktu melempar (jumrah 'Aqabah) adalah setelah matahari terbit bagi orang yang tiada rukhshah (keringanan karena alasan syar'i) baginya. Sedangkan orang-orang yang diberi rukhshah oleh syari'at, seperti wanita dan orang-orang berfisik lemah lainnya, mereka boleh melempar sebelum itu".
Ketiga belas:
Dalam amalan haji dan umrah, wanita cukup memotong sedikit dari rambut kepalanya seujung jari, tidak boleh mencukur bersih. Ibn Qudamah, dalam al-Mughni, berkata: "Yang disyari'atkan bagi wanita adalah memotong sedikit dari rambu kepalanya, bukan mencukur bersih. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Ibn al-Mundzir berkata: Para ulama' bersepakat (ijma') dalam masalah ini. Karena, bagi wanita, cukur bersih adalah suatu hukuman.
Ibn 'Abbas meriwayatkan: Rasulullah Saw. bersabda: "Tidak ada anjuran bagi wanita untuk mencukur bersih rambut kepalanya. Yang wajib dilakukan¬nya adalah memotongnya sedikit”.
Empat belas:
Wanita haid, jika ia telah melempar Jumrah Aqabah dan memotong rambutnya sedikit, berarti ia telah bertahallul (awal) dari ihramnya. Halal bagi¬nya apa yang tadinya diharamkan karena ihram. Hanya saja ia belum halal untuk suaminya. Maka ia tidak boleh memperkenankan dirinya untuk disebadani suaminya sebelum thawaf ifadhah. Jika suaminya bersebadan dengannya di saat-saat itu, wajib baginya fidyah. Yaitu: menyembelih seekor kambing di Makkah untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin di Tanah Suci, karena hal terjadi setelah tahallul awwal.
Lima belas:
Apabila wanita mengalami haid setelah thawaf ifadhah, ia boleh pergi kapan saja (meninggalkan Makkah) dan gugur baginya kewajiban thawaf wada Dari 'Aisyah , ia berkata: Syafiyyah binti Huyay mengalami haid seusai thawaf ifadhah. 'Aisyah berkata: Lalu kuceritakan hal itu kepada Rasulullah . Beliau bertanya: "Apakah ia menjadi sebab kita tertahan?" Aku berkata: "Wahai Rasulullah, ia telah berifadhah (meluncur dari Arafat ke Muzdalifah, lalu ke Mina, lalu ke Makkah) dan melakukan thawaf ifadhah, kemudian ia haid seusai thawaf ifadhah itu". Beliau bersabda: "Kalau begitu, biarkan ia pergi (meninggalkan Makkah)".
Enam belas:
Disunnahkan bagi wanita Ziarah ke Masjid Nabawi untuk melakukan shalat dan berdo'a di Masjid itu. Akan tetapi ia tidak boleh menziarahi kubur (pesarean) Nabi Saw. karena dilarang menzi¬arahi kubur pada umumnya.
Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu as-Syaikh, Mufti Negeri Saudi, dalam Majmu Fatawa, berkata: "Yang benar dalam masalah ini ialah bahwa wanita dilarang berziarah ke kubur Nabi Saw. karena keumuman dalil (yang melarang wanita menziarahi kubur). Sedangkan an-nahy (suatu larangan), jika lahirnya berbentuk 'amm (umum), maka tidak boleh siapa pun mentahkshish (menyempitkan keumuman) larangan itu, kecuali dengan adanya suatu dalil. Di samping itu, 'illat (alasan) pelarangan terdapat di sini.
Ziarah ini (ziarah kubur) hanyalah disyari'atkan bagi lelaki saja. Sedangkan wanita tidak dibolehkan menziarahi kubur manapun, sebagaimana tertera dalam hadits yang kuat:
Bahwasanya Nabi Saw.melaknat para wanita peziarah kubur dan orang-orang yang mendirikan masjid di atas kubur dan meletakkan lampu-lampu di atasnya. Adapun tujuan ke Medinah untuk melakukan shalat dan berdo'a di Masjidir Rasul Saw. dan semacamnya dan ini termasuk hal yang disyari'atkan di masjid manapun. Dengan demikian hal itu adalah disyari'atkan bagi semua (lelaki maupun perempuan).
Demikian uraian panjang mengenai Ketentuan Khusus Wanita Dalam Haji semoga bermanfaat dan membawa keberahan. Amiin.
0 comments:
Post a Comment