Home » » Kewajiban Isteri Mentaati Suami dan Keharaman Mendurhakainya

Kewajiban Isteri Mentaati Suami dan Keharaman Mendurhakainya

Written By bloger Muslim on Monday, March 23, 2015 | 8:40 PM

KEWAJIBAN ISTERI MENTAATI SUAMI DAN KEHARAMAN MENDURHAKAINYA

Seorang isteri wajib menaati suami secara ma'ruf (baik menurut syara'). Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda: "Jika wanita melaksanakan shalatnya yang lima waktu, berpuasa Ramadhan, memelihara kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia (dipersilakan) masuk surga dari pintu manapun yang ia kehendaki”

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: "Janganlah seorang wanita berpuasa (sunnat), sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali atas izinnya. Dan janganlah ia mengizini (seseorang memanfaatkan sesuatu) di rumahnya (sedangkan suaminya berada di rumah) kecuali atas izinnya."

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah  Saw. bersabda: "Jika seorang lelaki memanggil isterinya ke tempat tidurnya (untuk melayani hasrat biologisnya), lalu ia tidak mau datang, dan suaminya di malam itu terus marah hatinya kepadanya, maka para malaikat akan melaknat wanita itu sampai pagi".

Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. bersabda: "Demi Dzat Yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah seseorang lelaki memanggil isterinya ke tempat tidurnya (untuk melayani hasrat biologisnyanya), lalu ia tidak mau, kecuali Allah yang di langit akan terus murka kepada wanita itu hingga suami ridha kepadanya".

Di antara hak suami yang wajib ditunaikan oleh isteri ialah, hendaknya isteri memimpin dan memelihara rumah suaminya dan hendaknya tidak keluar rumah kecuali atas izinnya.

Rasulullah Saw. bersabda: "... Wanita adalah pemimpin dan pengurus di rumah suaminya, dan ia dimintai pertanggung jawabannya tentang yang semua yang dipimpin dan diurusnya.”

Di antara hak suami yang harus ditunaikan oleh isteri ialah, hendaknya mengerjakan pekerjaan rumah dan jangan sampai ia memerlukan mengambil seorang pembantu wanita, yang membuat suami terganggu olehnya dan karenanya juga ia dapat terjebak dalam bahaya bagi dirinya maupun anak-anaknya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dalam Majmu' al-Fatawa, mengatakan:
Firman Allah:
"Karenanya, wanita-wanita yang shaleh, ialah me¬reka yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka." (QS. An-Nisa': 34). 
Ayat ini menentukan wajibnya wanita menaati suaminya dengan mutlak dalam hal pelayanan umum, menemani dalam bepergian, melayani di tempat tidur dan lain-lainnya, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.

Apabila seorang wanita melihat pada suaminya gejala ketakminatan kepadanya, sedang ia masih ingin tetap bersamanya, maka yang harus diketahui adalah bahwa Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
"Dan jika seorang wanita khawatir akan perilaku nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan kese¬pakatan damai dengan sebenar-benarnya. Dan kesepakatan damai itu adalah lebih baik". Yakni lebih baik daripada firaq (perceraian)." (QS. An- Nisa': 128)

Selanjutnya Ibn Katsir menyebutkan kisah Saudah binti Zam'ah , bahwasanya tatkala ia telah lanjut usia, sedang Rasulullah Saw. hendak menceraikannya, maka ia mengadakan kesepakatan perdamaian bersama Rasulullah Saw., agar beliau tetap bersedia bersamanya (tidak menceraikannya), dan ia memberikan satu hari gilirannya untuk 'Aisyah. Maka beliau pun menerima kesepakatan itu dan mempersilakannya tetap bersama beliau.

Dan apabila isteri tidak suka kepada suami dan tidak pula menghendaki tetap bersamanya, maka dalam hal ini Allah berfirman:
"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. " (QS. Al-Baqarah: 229).

Al-Hafizh Ibn Katsir, dalam Tafsir-nya, berkata: "Jika terjadi ketidak cocokan antara suami-isteri dan isteri tidak menunaikan hak suami dan bahkan idak menyukainya serta tidak mampu bergaul denganya, maka boleh bagi isteri memberi tebusan atas temberian suami, dan tidak mengapa ia memberikan tebusan itu kepada suaminya dan tidak mengapa pula suami menerimanya". Ini yang disebut khulu'.

Kemudian jika si isteri meminta cerai dari suaminya tanpa alasan syar'i, maka dalam hal ini Nabi Saw. bersabda dalam sebuah hadis dari Tsauban: "Wanita manapun yang meminta suaminya agar menceraikannya, tanpa ada suatu alasan apapun, haramlah bagi wanita itu aroma mewangi surga". (Hadits riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Ibn Hibban, dalam Shahih-nya, menyatakan bahwa hadits ini hadits hasan).

Yang sedemikian itu karena tindakan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (talak/perceraian). Talak boleh dilakukan, tidak lain, adalah karena memang diperlukan. Tanpa adanya sebab itu talak adalah makruh, karena ia berdampak bahaya yang tidak samar lagi. Padahal keperluan yang dijadikan alasan wanita meminta talak semestinya adalah karena suami tidak mau menunaikan hak isteri sampai ke tingkat isteri terbahayakan jika tetap hidup bersamanya. Allah berfirman:
"(Setelah talak yang raj'i) boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik ". (QS. Al-Baqarah: 229)

Allah berfirman:
"Kepada orang-orang yang melakukan ila’ kepada isterinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (ber¬ketepatan hati) untuk talak, makna sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Baqarah: 226).

Semoga Allah senantiasa membimbing dan menuntun kita sehingga tetap pada jalan yang ridhoi Allah Swt. Demikian uraian tentang Kewajiban Isteri Mentaati Suami dan Keharaman Mendurhakainya , semoga bermanfaat. Amiin.

Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blog Archive

 
Support : Privacy Policy | Disclaimer
Copyright © 2013. kajian islam - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger